Sepekan itu menjadi pekan
yang super sibuk dan sangat meguras pikiran serta tenaga. Tentu saja, karena
sepekan itu seluruh siswa kelas 12 sedang menghadapi ujian praktek berbagai
macam mata pelajaran, dalam rangkaian ujian menuju kelulusan. Peraturan dari setiap
praktek pun berbeda. Ada yang bersifat individual, kelompok, bahkan satu
kelas. Mengatur waktu sebaik mungkin adalah tugas utama masing-masing siswa.
Tidak terlalu sulit bila
berdiskusi dengan kelompok, sebab jumlah anggota yang sedikit memudahkan untuk
berkomunikasi, walaupun pasti ada perbedaan pendapat tapi minim perdebatan
panjang. Bisa dibayangkan bagaimana berdiskusi dengan satu kelas. Susahnya
minta ampun! Isi kepala masing-masing siswa memiliki sudut pandang yang
berbeda, banyak yang ingin pendapatnya diterima dengan mulus. Dan ya, tidak
sedikit pula yang bodo amat dengan diskusi tersebut, bahkan membuat forum dalam
forum. Hanya untuk menentukan tema dan jenis pertunjukan, bahkan seharian pun
tidak cukup.
Setelah sekian lama menentukan,
akhirnya dapatlah sebuah tema, jenis pertunjukan, dilanjutkan melaksanakan
persiapan serta latihan. Dua tahapan
terakhir menjadi tantangan terberat. Sering terjadi miss komunikasi. Bekerja dalam tim tentu ada yang memimpin. Tidak jarang sang pemimpin emosi karena pekerjaan timnya tidak sesuai harapan.
Tugas praktek dari mata
pelajaran Seni & Budaya memang paling beda dari yang lain. Dalam praktek
kali ini setiap kelas harus melaksanakan acara layaknya Event Organizer (EO). Maka dari itu
kekompakan sangat diuji. Sebuah pertunjukkan tidak bisa berjalan hanya karena tangan satu siswa, tidak bisa juga dengan sebagian lainnya, tapi menyeluruh
satu kelas.
Kelasku mengambil tema
yang tidak biasa serta mengadakan sebuah acara yang paling nyentrik
dibandingkan kelas lain. Bahkan sempat dilarang oleh para guru, dan terancam
tidak diterima proposalnya, mengingat takut terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan. Horror! Yup, tema horror menjadi kesepakatan kami, dengan alasan
ingin tampil beda dan mencetak sebuah kenangan yang mungkin sangat mudah
diingat. Sebab belum pernah angkatan sebelumnya yang mengusung tema tersebut. Mungkin
mereka satu pikiran dengan para guru.
Sempat tergoyahkan karena
bertubi-tubi pendapat mengahmpiri kelasku. Mustahil jika harus merombak semua
dari awal, dengan persiapan yang sudah berjalan 40%, dead line pun sudah dekat.
Akhirnya melalui musyawarah dengan guru Seni serta beberapa guru yang lain,
kami dipersilahkan menyukseskan acara yang sudah kami usung.
Setiap hari pulang sore
mendekati magrib. Lelah, pusing, dan sempat frustasi saat material utama untuk kelancaran
acara, sampai H-4 pun tidak kunjung ditemukan. Kelasku akan menampilkan sebuah
drama dengan tema horror. Pentas drama hal yang sangat biasa. Walaupun dengan
tema horror sekalipun. Tetap saja membutuhkan latihan yang luar biasa capeknya.
Tidak berhenti di situ, untuk memuaskan penonton kami menyuguhkan pertunjukan
yang menjadi latar belakang dari cerita drama yang kami buat.
Dalam drama, kisah yang
diceritakan sungguh tragis. Dan berakhir dengan manusia-manusia yang mati
secara mengenaskan, ulah dari iblis yang bersarang di sebuah sekolah. Sebagai ajang
uji nyali juga, kami membuat replika sekolah yang dianggap angker. Dengan istilah
lain, rumah hantu. Siapa yang tidak bergidik mendengar hal itu? Tapi rasa
penasaran telah menyelimuti pikiran para penonton, sehingga rasa takutnya
tersamarkan. Ide inilah yang sebelumnya memperoleh banyak larangan dari guru
maupun teman seangkatan. Tekad kami hanya ingin menampilkan sesuatu dengan nuansa
berbeda dan memberikan hiburan terbaik.
Kami juga tidak menyangka
antusiasme dari teman-teman maupun adik kelas begitu tinggi. Karena mereka
berduyun-duyun datang untuk menyaksikan hiburan yang tidak biasa, dengan
memperoleh tiketnya terlebih dahulu.
Pengunjung yang ingin merasakan
sensasi rumah hantu, masuk secara bergantian. Tiap grup yang masuk terdiri dari
5-7 orang. Akan kuacungi jempol jika ada yang berani masuk sendirian, kecuali
panitia. Reaksi yang kami dengar bermacam-macam, yang paling dominan adalah,
“AAAAAAAAAaaaaaaaaaaaaaaaaaa!”
Juga reaksi yang kami
lihat setelah muncul dari pintu keluar. Kebanyakan muka mereka pucat! Sempat tergelitik
hati ini melihat para pengunjung yang sudah berani masuk meskipun tahu apa yang
akan terjadi pada mereka. Ada juga yang tertawa dengan keringat mengucur,
pengunjung tipe itu sepertinya hanya berlagak stay cool. Sampai ada pula yang menangis jejeritan. Semakin gelilah
hati ini, bahkan aku terpingkal melihat mereka. Seakan kerja keras yang sudah
dilalui terbayar lunas.
Saat semua pengunjung
sudah habis, tiba-tiba temanku mengajakku untuk masuk ke dalam. Kupikir untuk
mengambil sesuatu, ternyata ia berniat sebagai pengunjung. Aku mengiyakan
ajakannya, toh hantu yang bersemayam di ruang tersebut adalah teman-temanku
yang sedang bersandiwara. Jadi tidak ada rasa takut menyelinap di hatiku.
Dengan bersemangat aku
masuk ke dalam ruangan tersebut. Tak kusangka gelap gulita! Kami berempat
masuk, dengan aku di posisi ketiga, sedang teman dibelakangku menjadi
buntutnya. Ia memelukku dengan erat. Kita harus mengikuti jalur yang sudah
dipasang sebelumnya menggunakan tirai layaknya labirin. Dan di setiap labirin
kita akan disapa oleh teman-teman dengan wujud yang berbeda.
Walaupun tidak ada udara
yang bisa masuk, karena ventilasi dan segala macam yang mengundang cahaya telah
diblokir, hawa di dalam cukup dingin. Karena kipas angin yang kami sediakan disetting dengan kecepatan tertinggi. Harum
melati yang semerbak, akibat bulir-bulir parfum yang telah disemprotkan
menguap. Belum membuat nyaliku ciut. Kami jalan perlahan karena memang minimnya
cahaya, di labirin pertama sudah disapa oleh temanku yang menjadi hantu
menggunakan daster seperti orang Cina dengan muka yang hancur sebelah.
Labirin itu kami lewati
dengan mulus. Sekali lagi aku menganggap mereka adalah teman-teman yang kutemui
hampir setiap hari. Labirin demi labirin dilalui, banyak yang menggoda kami,
bahkan mereka menganggap kami adalah bagian dari pengunjung yang haus hiburan itu. Gelap telah menghalau segalanya.
Teringat bahwa panitia
menyiapkan replika kuburan, aku penasaran dimana kuburan tersebut diletakkan. Sambil
terus berjalan aku melangkah was-was karena takut menginjak dan merusak replika
kuburan yang terbuat dari tanah liat. Sayup terdengar audio yang sudah
disiapkan panitia –niat sekali memang kami membuat acara untuk menjadi kenangan
terakhir sebelum lulus SMA, bahkan ornamennya dibuat seangker mungkin- melalui
speaker tersembunyi. Suara yang diputar adalah backsound yang biasa didengar
dalam film horor. Dan aku juga mendengar lagu Lingsir Wengi dikumandangkan.
Dug.. Dug.. Dug.. Dug.. Dug.. Dug!
Jantungku berdegup hebat.
Sisi labirin itu mendapat cahaya dari lampu yang memang sengaja dihidupkan,
tetapi samar. Aku melihat replika kuburan tepat di depan mataku. Tanganku
mencekram erat baju teman di depan. Aku menunduk, tak ingin melihat apapun.
“AAAaaaaaaa……
Tolong!!!!!!!”
“Huusshhh pergi!”
“AAAaaaaaaaaaaaaaaa…..”
Teman dibelakangku
histeris, seperti melihat hantu. Tentu saja hantu, karena itu adalah rumah
hantu. Dia melolong dan melarikan diri dari barisan. Aku pasrah dengan menjadi
di posisi terakhir. Tapi penasaran siapa yang dilihat oleh temanku, aku menoleh
ke belakang. Dia mendekatiku, menyentuhku.
“Pocoooongggggggg!!!
AAAAaaaaa…….” Kali ini aku yang membuat suara seperti toak dan menjadi atlet
dadakan. Aku tak kuasa melihat temanku seseram itu di dandani seperti hantu
terkenal di Indonesia. Tubuhku terkulai lemas.
Tidak habis di situ saat
aku berlari mencari jalan keluar, ada pocong lagi, aku menjerit layaknya anak
kecil. Berusaha menghindari mereka aku menarik temanku yang sedari tadi
berjalan di depan, masih ada stock hantu rupanya, aku bertemu Queen of Laugh mbak kuntilanak!!! Sudah
cukup! Cukup! Aku tidak mampu melihat mereka berdandan seperti itu.
Mereka adalah teman-teman
keseharianku di sekolah. Aku tahu mereka yang berada di dalam hanya memakai
kostum, lalu di dandani layaknya hantu, dan bersandiwara. Hanya sandiwara!
19 Maret 2016 |
Well, hantu itu memang tidak ada ya kawan. Tapi ingat selalu ada yang mengawasi kita di samping kanan dan kiri.
#zifah
#zifah
Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa follow dan berteman dengan saya di facebook : Nazifah R, Twitter : @zifah03, dan instagram : @zifahra ^^ ConversionConversion EmoticonEmoticon