Senin
pagi sering menjadi momok bagi kebanyakan orang, khususnya murid sekolah.
Kalian pasti sudah menebak alasannya. Yup.
Upacara pengibaran bendera, menjadi pembuka kegiatan sebelum kegiatan belajar
mengajar hari Senin dimulai. Cuaca cerah dengan sinar mentari yang mencolok,
bagaikan kabar buruk dari malaikat Mikail. Bagaimana tidak, kita harus bertahan
dengan radiasi matahari yang terpajan selama kurang lebih enam puluh menit,
bahkan bisa lebih saat pembina upacara berpidato di podium menyampaikan banyak
hal (yang menurutnya) penting, dan lebih terkesan seperti unek-unek yang telah
ditahannya entah berapa lama. Bagi yang tidak melakukan persiapan dengan
baik ia akan lengser dari hukum alam
atau jatuh pingsan.
Ada banyak momen terjadi saat upacara
berlangsung yang dipimpin oleh petugas. Momen paling menyita perhatian sekaligus menegangkan
adalah detik-detik petugas pengibar bendera menarik sang merah putih untuk
dibentangkan, lalu dikerek menuju puncak diiringi lantunan Indonesia Raya
secara berjamaah oleh seluruh murid dan guru, untuk dibiarkan berkibar. Ketika
petugas melakukan sedikit saja kesalahan akan menjadi perbincangan hangat di
antara para peserta upacara yang menyaksikannya.
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa tidak jarang terjadi insiden tak terduga saat sang
pusaka hendak dikibarkan. Walaupun sudah melakukan latihan dari jauh-jauh hari
jika mental tidak siap pada hari H, mimpi buruk yang selama ini mengintai bisa
saja menjadi nyata.
Usai
pembubaran upacara, semua murid memasuki kelas masing-masing. Sekolahku
merupakan salah satu sekolah swasta di wilayah Bekasi. Di sini murid putra dan
putri berada dalam kelas yang berbeda,
seperti suasana di pondok. “Guys,
minta perhatiannya sebentar.” Teriak ketua yang mengalihkan perhatian sehingga
bola-bola mata seketika tertuju ke arah sumber suara. “Minggu depan kelas kita
yang akan jadi petugas upacara. Saat istirahat pertama kita bahas ya,”
lanjutnya.
***
“Sudah kumpul semua belum?” Wakil
ketua mengambil bagian untuk memimpin rapat pagi ini.
“Belum. 2 orang lagi. Eh tuh
mereka,” sela salah satu murid ketika mengetahui anggota kelas belum lengkap,
kemudian yang dinyatakan belum bergabung datang bersamaan.
“Oke, sudah lengkap ya. Silahkan bu
ketua.” Kata sang wakil.
“Teman-teman karena minggu depan
giliran kelas 8A yang menjadi petugas upacara. Hari ini kita tentuin siapa saja
yang akan menjadi petugas.” Jelas ketua.
“Tapi yang tahun lalu sudah pernah
menjadi petugas, kasih kesempatan untuk temannya yang lain ya,” ujar wakil ketua.
“Siapa yang mau jadi pemimpin
upacara?” tanya wakil ketua kelas.
“Aku dong, aku.” Syifa menunjuk
dirinya.
“Yang jadi pembawa acara?”
“Aku.” Seru Halimah.
“Pengibar bendera? Butuh tiga
orang.”
“Aku, mau.” Kata Rahma.
“Aku juga deh,” seru Husna.
“Satu lagi siapa? Yang tinggi, dan
setara dengan Rahma dan Husna.” Tanya Syifa, sang ketua.
Suasana mendadak hening tak ada lagi
yang bersedia menjadi relawan petugas kibar bendera. Memang hanya orang-orang
yang memiliki mental baja berlapis yang siap menjadi petugas kibar bendera.
Mengingat tanggung jawab yang diemban cukup berat, tapi bila sukses
melaksanakannya akan membawa berkah tersendiri, bisa saja menjadi artis dadakan
di lingkungan sekolah. Setidaknya akan menaikkan citra nama, baik pribadi maupun
kelas.
“Jani saja.” Kata salah satu temanku.
Sontak aku kaget.
“Ih apasih tunjuk tunjuk?” Elakku.
“Tidak apa-apa, Jani belum pernah
jadi petugas kan?” Kata Syifa.
“Jabatan yang lain ajadeh.” Aku
merasa tidak percaya diri.
“Nanti kita seleksi lagi. Tapi
enggak ada salahnya dicoba.” Tukas Syifa. Dan aku terdiam pasrah.
Syifa melanjutkan pencarian jabatan
untuk upacara minggu depan, dari pembawa naskah pancasila, pembaca teks
pembukaan UUD 1945, pemimpin lagu, pengatur barisan, hingga pembaca doa. Dan
yang lainnya akan menjadi paduan suara lagu Indonesia Raya. Setelah semua
rampung, kami merundingkan jadwal untuk latihan upacara. Akan ada beberapa jam
pelajaran yang digunakan untuk keperluan latihan, tentunya dengan izin sang
guru. Selain itu kami akan memanfaatkan jam kosong bila guru rapat, serta jam
kepulangan akan sedikit terlambat. Dan jatah hari libur minggu ini harus
direlakan demi kelancaran upacara di hari Senin mendatang.
Waktu latihan tiba, dan yang
mendapat tuntutan untuk berlatih keras adalah para pengibar bendera. Bahkan
yang melatih kami dua kakak kelas dari organisasi Paskibra. Sebelum berlatih
pada teknis mengibarkan bendera, kami (aku, Husna, Rahma) mengawalinya dengan uji kekompakkan laju jalan serta gerak
tubuh. Sebelumnya aku berada di posisi tengah, yang akan membawa bendera di
pangkuan tangan. Rahma di samping kanan serta Husna di samping kiri.
Namun entah mengapa dengan alasan
agar memiliki posisi tinggi yang seimbang salah satu dari kaka kelas itu
menyuruhku bertukar posisi dengan Rahma. Tiba-tiba saja jantungku terpompa tak
beraturan, keringat yang sedari tadi mengumpat, kini hilir mudik di kepala,
mukaku tertunduk dan aku tidak rela melepaskan posisi sebelumnya, karena aku
tahu posisi paling kananlah yang dihindari banyak orang termasuk diriku. Ingin
rasanya menemui Syifa supaya dicarikan penggantiku. Tapi apa daya seakan tidak
ada harapan. Ekspresi dari teman teman saat menyaksikan kami latihan saja,
mereka bergidik. Awalnya berat hati ini menerima kenyataan yang tak sepadan
dengan dengan keinginan. Mereka sadar kami bertiga terlihat tegang, salah seorang dari kaka kelas itu berbicara santai,
“Kalau latihan sungguh-sungguh pasti bisa kok!”
Tahap kami (petugas pengibar
bendera) berlatih sudah lebih maju. Bahkan sudah mulai berlatih menggunakan
bendera walaupun bukan berwarna merah putih. Dengan alasan demi menjaga
keagungan sang saka dari tindakan konyol para pengibar amatiran seperti kami.
Aku pun menghargai alasan tersebut.
Semua ilmu sudah diajarkan oleh dua
kakak kelas, yang berbaik hati meluangkan waktunya untuk memberi pencerahan
pada kami yang awam segalanya terkait pengibaran bendera. Cukup sulit memang,
sebab kami harus konsentrasi tinggi agar gerakkan tubuh dan irama hentakan
sepatu kami kompak beriringan. Butuh dua hari agar langkah dan irama kami
sejajar. Apalagi diriku, ditambahkan beban yang tak terdefinisikan, dengan
menjadi sang pengibar. Tapi syukurlah kakak kelas itu mengajariya dengan sabar
dan terus memotivasi.
Tinggallah kami berlatih sendiri
tanpa bimbingan kakak kelas, tentu saja masih terjadi kesalahan tapi tidak
separah awal latihan. Keseringan kami berlatih sehabis jam sekolah, sebab tidak
didapati jam kosong berlebih saat Kegiatan Belajar Mengajar berlangsung. Lelah
yang dirasa sudah menyatu dalam nadi, bermodalkan semangat kami terus berlatih,
hingga tanpa sadar sore akan berakhir.
Hari Sabtu jadwal geladi bersih
untuk kesuksesan dan kelancaran di hari Senin. Setelah berjuang hampir
seminggu, semua petugas akan melakukan puncaknya latihan sebelum tampil pada
upacara sesungguhnya. Selama latihan kami bisa meminimalisir kesalahan,
terutama kami yang bertugas mengibarkan bendera. Melihat kemajuan yang melesat
rasa percaya yang tumbuh dalam diriku kian subur. Walaupun terbilang sudah
lancar tapi latihan baru selesai sore hari. Kami maksimalkan kemampuan yang
tersisa, karena kami tidak akan mengganggu hari Minggu, itu adalah hari
kebebasan untuk siapapun.
Dan aku tidak ingin menyiakan satu
hari tersisa, hari Minggu kugunakan berlatih sendiri di rumah. Dari gerakan
tangan, hentakan langkah kaki berirama, hingga teknis hendak mengibarkan
bendera. Atas bantuan dari adik laki-lakiku yang masih TK –kusuruh ia menjadi
petugas pengibar bendera posisi tengah- yang dijadikan bendera adalah kain bedongnya
saat masih bayi dulu. Seharian aku berlatih tapi tidak sepenuhnya ditemani
adikku. Dia bosan harus berlagak seperti patung mengangkat sesuatu yang aneh
baginya. Bahkan ia ingin juga sepertiku melakukan gerakan unik menurutnya. Lalu
dia kabur karena tidak aku izinkan.
Aku tidak menemukan kesulitan
berarti di akhir latihan detik detik menuju Senin. Sempat meragukan kemampuan
yang sudah kutampung seminggu ini, tapi kutepis semua. Aku berikan semangat
untuk diri sendiri, dari sekian orang akulah yang dipilih untuk menjalankan
amanah mulia, betapa tidak, aku akan mengibarkan merah putih kebanggaan
Indonesia.
***
Hari yang ditunggu datang. Aku
berangkat ke sekolah lebih pagi dari biasanya, untuk menjalankan persiapan dan latihan
yang terakhir kalinya dengan bendera merah putih sesungguhnya. Waktu berjalan
terasa cepat, dari suasana hening yang menemani, hingga suara bising dari peserta
yang sudah berkumpul dan berbaris di lapangan. Aku dan teman-teman yang
bertugas sudah siap dengan kostum khusus petugas upacara.
Terlepas dari rasa gugup aku
merasakan kebanggaan tersendiri memakai atribut khusus petugas pengibar
bendera. Kalau diteliti lebih lanjut banyak yang mengincar posisi yang aku
pegang, karena selama ini juga aku terkagum dengan petugas pengibar bendera
apalagi yang berhasil mengibarkan bendera dengan sempurna, tapi karena besarnya
tanggung jawab yang bisa saja mencoreng nama baik mereka, akhirnya memilih
enggan mengambil posisi ini.
Cuaca hari ini pas. Tidak panas dan
tidak mendung. Angin semilir menyibakkan rok yang kukenakan hingga seperti gaun
putri di cerita dongeng. Semua sudah
berada di tempat dan posisi masing-masing. Suasana khidmat upacara sudah terasa
saat pembawa acara mengucap salam pembuka. Aku tidak gugup sama sekali, hingga
akhirnya kami (pasukan pengibar bendera)
dipersilahkan mengibarkan bendera oleh pembawa upacara.
Aku kumpulkan keberanianku hari ini,
dengan memimpin barisan pengibar bendera. Langkah kami terdengar lantang.
Dengan tatapan fokus ke depan, irama bertalu sangat pas, tidak lupa
kusunggingkan senyum sebagai terima kasih pada Tuhan atas cerahnya hari ini. Suasana
menjadi hening saat aku meletakkan pengait di lubang kain bendera. Semua mata
dari penjuru sisi tertuju padaku, hening yang membuat aku keringat dingin.
Kurasakan telapak tangan basah dalam volume yang tinggi. Jantung berdegup lebih
kencang.
Setelah pengait sudah terpasang
seraya mengapit bagian ujung bendera dengan jari, yang masih dalam lipatan, aku
mundur perlahan beberapa langkah. Tarikan yang kubuat membuat bendera menjuntai
ke bawah, lalu aku bersiap untuk mengangkat lengan kanan ke atas, untuk
mengibarkan bendera. Dengan menghitung dalam hati 1…….2……3. Tangan kanan
tergerak ke atas sedangkan tangan kiri ke bawah. Srrreeekkkk…
Kau tahu, kawan, benderanya terbalik! Iya,
terbalik! Dengan posisi putih kutarik ke atas dan merah ke bawah. Mataku
terbelalak dengan mulut hampir ternganga melihatnya, jantungku seakan terhenti
berdegup, tenggorokanku tercekat, keringat mengucur di sekujur tubuh, tubuhku
melemas sejadi jadinya. Oh Tuhan apakah aku terlalu sombong? Salahkah bila
kupunya kepercayaan diri? Mungkin aku telah lupa sesuatu, terlalu percaya
dengan kemampuan sendiri padahal ada Engkau sang pemilik kekuatan sejati. Tapi rasanya
ingin sekali menghilang dari situasi ini.
Kulirik
Pembina yang berada di sampingku yang tak lain adalah wali kelasku, Bu Hazia.
Matanya terlihat teduh tapi sarat makna, tanpa beliau menggerakkan apa pun aku
paham. Beliau mengisyaratkan untuk melanjutkan. Dengan sigap ku betulkan posisi
bendera sebagaimana mestinya. Tersisa suara parau dari pita suaraku yang
akhirnya ku lontarkan untuk memberi aba aba kepada pemimpin upacara, bahwa
bendera telah siap. Mengucapnya pun aku malu setengah mati. Kemudian pemimpin
memberi perintah kepada seluruh peserta untuk hormat pada sang saka diiringi lagu
Indonesia Raya menuju puncaknya. Mungkin sang merah putih telah kecewa
denganku, mungkin ia telah muak melihatku.
Insiden dua tahun lalu itu masih
menyisakan trauma yang amat mendalam untukku, kini aku telah duduk kelas 2 SMA.
Kejadian itulah yang membuat aku menolak dengan mantap, saat ditunjuk menjadi
petugas pengibar bendera, karena kelasku akan menjadi petugas upacara minggu
depan.
Bekasi, 12-11-16
#zifah
1 komentar:
Click here for komentarCeritanya bagus, deskripsinya oke.
Jempol deh :)
Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa follow dan berteman dengan saya di facebook : Nazifah R, Twitter : @zifah03, dan instagram : @zifahra ^^ ConversionConversion EmoticonEmoticon