Berkibarlah Benderaku


www.kompasiana.com
            

          Senin pagi sering menjadi momok bagi kebanyakan orang, khususnya murid sekolah. Kalian pasti sudah menebak alasannya. Yup. Upacara pengibaran bendera, menjadi pembuka kegiatan sebelum kegiatan belajar mengajar hari Senin dimulai. Cuaca cerah dengan sinar mentari yang mencolok, bagaikan kabar buruk dari malaikat Mikail. Bagaimana tidak, kita harus bertahan dengan radiasi matahari yang terpajan selama kurang lebih enam puluh menit, bahkan bisa lebih saat pembina upacara berpidato di podium menyampaikan banyak hal (yang menurutnya) penting, dan lebih terkesan seperti unek-unek yang telah ditahannya entah berapa lama. Bagi yang tidak melakukan persiapan dengan baik  ia akan lengser dari hukum alam atau jatuh pingsan.

            Ada banyak momen terjadi saat upacara berlangsung yang dipimpin oleh petugas. Momen  paling menyita perhatian sekaligus menegangkan adalah detik-detik petugas pengibar bendera menarik sang merah putih untuk dibentangkan, lalu dikerek menuju puncak diiringi lantunan Indonesia Raya secara berjamaah oleh seluruh murid dan guru, untuk dibiarkan berkibar. Ketika petugas melakukan sedikit saja kesalahan akan menjadi perbincangan hangat di antara para peserta upacara yang menyaksikannya.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak jarang terjadi insiden tak terduga saat sang pusaka hendak dikibarkan. Walaupun sudah melakukan latihan dari jauh-jauh hari jika mental tidak siap pada hari H, mimpi buruk yang selama ini mengintai bisa saja menjadi nyata.

Usai pembubaran upacara, semua murid memasuki kelas masing-masing. Sekolahku merupakan salah satu sekolah swasta di wilayah Bekasi. Di sini murid putra dan putri berada dalam kelas yang berbeda,  seperti suasana di pondok. “Guys, minta perhatiannya sebentar.” Teriak ketua yang mengalihkan perhatian sehingga bola-bola mata seketika tertuju ke arah sumber suara. “Minggu depan kelas kita yang akan jadi petugas upacara. Saat istirahat pertama kita bahas ya,” lanjutnya.

***

            “Sudah kumpul semua belum?” Wakil ketua mengambil bagian untuk memimpin rapat pagi ini.

            “Belum. 2 orang lagi. Eh tuh mereka,” sela salah satu murid ketika mengetahui anggota kelas belum lengkap, kemudian yang dinyatakan belum bergabung datang bersamaan.

            “Oke, sudah lengkap ya. Silahkan bu ketua.” Kata sang wakil.

            “Teman-teman karena minggu depan giliran kelas 8A yang menjadi petugas upacara. Hari ini kita tentuin siapa saja yang akan menjadi petugas.” Jelas ketua.

            “Tapi yang tahun lalu sudah pernah menjadi petugas, kasih kesempatan untuk temannya yang lain ya,” ujar wakil ketua.

            “Siapa yang mau jadi pemimpin upacara?” tanya wakil ketua kelas.

            “Aku dong, aku.” Syifa menunjuk dirinya.

            “Yang jadi pembawa acara?”

            “Aku.” Seru Halimah.

            “Pengibar bendera? Butuh tiga orang.”

            “Aku, mau.” Kata Rahma.

            “Aku juga deh,” seru Husna.

            “Satu lagi siapa? Yang tinggi, dan setara dengan Rahma dan Husna.” Tanya Syifa, sang ketua.
           
            Suasana mendadak hening tak ada lagi yang bersedia menjadi relawan petugas kibar bendera. Memang hanya orang-orang yang memiliki mental baja berlapis yang siap menjadi petugas kibar bendera. Mengingat tanggung jawab yang diemban cukup berat, tapi bila sukses melaksanakannya akan membawa berkah tersendiri, bisa saja menjadi artis dadakan di lingkungan sekolah. Setidaknya akan menaikkan citra nama, baik pribadi maupun kelas.

            “Jani saja.” Kata salah satu temanku. Sontak aku kaget.

            “Ih apasih tunjuk tunjuk?” Elakku.

            “Tidak apa-apa, Jani belum pernah jadi petugas kan?” Kata Syifa.

            “Jabatan yang lain ajadeh.” Aku merasa tidak percaya diri.

          “Nanti kita seleksi lagi. Tapi enggak ada salahnya dicoba.” Tukas Syifa. Dan aku terdiam pasrah.
           
            Syifa melanjutkan pencarian jabatan untuk upacara minggu depan, dari pembawa naskah pancasila, pembaca teks pembukaan UUD 1945, pemimpin lagu, pengatur barisan, hingga pembaca doa. Dan yang lainnya akan menjadi paduan suara lagu Indonesia Raya. Setelah semua rampung, kami merundingkan jadwal untuk latihan upacara. Akan ada beberapa jam pelajaran yang digunakan untuk keperluan latihan, tentunya dengan izin sang guru. Selain itu kami akan memanfaatkan jam kosong bila guru rapat, serta jam kepulangan akan sedikit terlambat. Dan jatah hari libur minggu ini harus direlakan demi kelancaran upacara di hari Senin mendatang.

            Waktu latihan tiba, dan yang mendapat tuntutan untuk berlatih keras adalah para pengibar bendera. Bahkan yang melatih kami dua kakak kelas dari organisasi Paskibra. Sebelum berlatih pada teknis mengibarkan bendera, kami (aku, Husna, Rahma) mengawalinya  dengan uji kekompakkan laju jalan serta gerak tubuh. Sebelumnya aku berada di posisi tengah, yang akan membawa bendera di pangkuan tangan. Rahma di samping kanan serta Husna di samping kiri.

            Namun entah mengapa dengan alasan agar memiliki posisi tinggi yang seimbang salah satu dari kaka kelas itu menyuruhku bertukar posisi dengan Rahma. Tiba-tiba saja jantungku terpompa tak beraturan, keringat yang sedari tadi mengumpat, kini hilir mudik di kepala, mukaku tertunduk dan aku tidak rela melepaskan posisi sebelumnya, karena aku tahu posisi paling kananlah yang dihindari banyak orang termasuk diriku. Ingin rasanya menemui Syifa supaya dicarikan penggantiku. Tapi apa daya seakan tidak ada harapan. Ekspresi dari teman teman saat menyaksikan kami latihan saja, mereka bergidik. Awalnya berat hati ini menerima kenyataan yang tak sepadan dengan dengan keinginan. Mereka sadar kami bertiga terlihat tegang, salah  seorang dari kaka kelas itu berbicara santai, “Kalau latihan sungguh-sungguh pasti bisa kok!”

            Tahap kami (petugas pengibar bendera) berlatih sudah lebih maju. Bahkan sudah mulai berlatih menggunakan bendera walaupun bukan berwarna merah putih. Dengan alasan demi menjaga keagungan sang saka dari tindakan konyol para pengibar amatiran seperti kami. Aku pun menghargai alasan tersebut.

            Semua ilmu sudah diajarkan oleh dua kakak kelas, yang berbaik hati meluangkan waktunya untuk memberi pencerahan pada kami yang awam segalanya terkait pengibaran bendera. Cukup sulit memang, sebab kami harus konsentrasi tinggi agar gerakkan tubuh dan irama hentakan sepatu kami kompak beriringan. Butuh dua hari agar langkah dan irama kami sejajar. Apalagi diriku, ditambahkan beban yang tak terdefinisikan, dengan menjadi sang pengibar. Tapi syukurlah kakak kelas itu mengajariya dengan sabar dan terus memotivasi.

            Tinggallah kami berlatih sendiri tanpa bimbingan kakak kelas, tentu saja masih terjadi kesalahan tapi tidak separah awal latihan. Keseringan kami berlatih sehabis jam sekolah, sebab tidak didapati jam kosong berlebih saat Kegiatan Belajar Mengajar berlangsung. Lelah yang dirasa sudah menyatu dalam nadi, bermodalkan semangat kami terus berlatih, hingga tanpa sadar sore akan berakhir.
                       
            Hari Sabtu jadwal geladi bersih untuk kesuksesan dan kelancaran di hari Senin. Setelah berjuang hampir seminggu, semua petugas akan melakukan puncaknya latihan sebelum tampil pada upacara sesungguhnya. Selama latihan kami bisa meminimalisir kesalahan, terutama kami yang bertugas mengibarkan bendera. Melihat kemajuan yang melesat rasa percaya yang tumbuh dalam diriku kian subur. Walaupun terbilang sudah lancar tapi latihan baru selesai sore hari. Kami maksimalkan kemampuan yang tersisa, karena kami tidak akan mengganggu hari Minggu, itu adalah hari kebebasan untuk siapapun.

            Dan aku tidak ingin menyiakan satu hari tersisa, hari Minggu kugunakan berlatih sendiri di rumah. Dari gerakan tangan, hentakan langkah kaki berirama, hingga teknis hendak mengibarkan bendera. Atas bantuan dari adik laki-lakiku yang masih TK –kusuruh ia menjadi petugas pengibar bendera posisi tengah- yang dijadikan bendera adalah kain bedongnya saat masih bayi dulu. Seharian aku berlatih tapi tidak sepenuhnya ditemani adikku. Dia bosan harus berlagak seperti patung mengangkat sesuatu yang aneh baginya. Bahkan ia ingin juga sepertiku melakukan gerakan unik menurutnya. Lalu dia kabur karena tidak aku izinkan.

            Aku tidak menemukan kesulitan berarti di akhir latihan detik detik menuju Senin. Sempat meragukan kemampuan yang sudah kutampung seminggu ini, tapi kutepis semua. Aku berikan semangat untuk diri sendiri, dari sekian orang akulah yang dipilih untuk menjalankan amanah mulia, betapa tidak, aku akan mengibarkan merah putih kebanggaan Indonesia.

***

            Hari yang ditunggu datang. Aku berangkat ke sekolah lebih pagi dari biasanya, untuk menjalankan persiapan dan latihan yang terakhir kalinya dengan bendera merah putih sesungguhnya. Waktu berjalan terasa cepat, dari suasana hening yang menemani, hingga suara bising dari peserta yang sudah berkumpul dan berbaris di lapangan. Aku dan teman-teman yang bertugas sudah siap dengan kostum khusus petugas upacara.

            Terlepas dari rasa gugup aku merasakan kebanggaan tersendiri memakai atribut khusus petugas pengibar bendera. Kalau diteliti lebih lanjut banyak yang mengincar posisi yang aku pegang, karena selama ini juga aku terkagum dengan petugas pengibar bendera apalagi yang berhasil mengibarkan bendera dengan sempurna, tapi karena besarnya tanggung jawab yang bisa saja mencoreng nama baik mereka, akhirnya memilih enggan mengambil posisi ini.

            Cuaca hari ini pas. Tidak panas dan tidak mendung. Angin semilir menyibakkan rok yang kukenakan hingga seperti gaun putri di cerita dongeng.  Semua sudah berada di tempat dan posisi masing-masing. Suasana khidmat upacara sudah terasa saat pembawa acara mengucap salam pembuka. Aku tidak gugup sama sekali, hingga akhirnya  kami (pasukan pengibar bendera) dipersilahkan mengibarkan bendera oleh pembawa upacara.

            Aku kumpulkan keberanianku hari ini, dengan memimpin barisan pengibar bendera. Langkah kami terdengar lantang. Dengan tatapan fokus ke depan, irama bertalu sangat pas, tidak lupa kusunggingkan senyum sebagai terima kasih pada Tuhan atas cerahnya hari ini. Suasana menjadi hening saat aku meletakkan pengait di lubang kain bendera. Semua mata dari penjuru sisi tertuju padaku, hening yang membuat aku keringat dingin. Kurasakan telapak tangan basah dalam volume yang tinggi. Jantung berdegup lebih kencang.

            Setelah pengait sudah terpasang seraya mengapit bagian ujung bendera dengan jari, yang masih dalam lipatan, aku mundur perlahan beberapa langkah. Tarikan yang kubuat membuat bendera menjuntai ke bawah, lalu aku bersiap untuk mengangkat lengan kanan ke atas, untuk mengibarkan bendera. Dengan menghitung dalam hati 1…….2……3. Tangan kanan tergerak ke atas sedangkan tangan kiri ke bawah. Srrreeekkkk…

 Kau tahu, kawan, benderanya terbalik! Iya, terbalik! Dengan posisi putih kutarik ke atas dan merah ke bawah. Mataku terbelalak dengan mulut hampir ternganga melihatnya, jantungku seakan terhenti berdegup, tenggorokanku tercekat, keringat mengucur di sekujur tubuh, tubuhku melemas sejadi jadinya. Oh Tuhan apakah aku terlalu sombong? Salahkah bila kupunya kepercayaan diri? Mungkin aku telah lupa sesuatu, terlalu percaya dengan kemampuan sendiri padahal ada Engkau sang pemilik kekuatan sejati. Tapi rasanya ingin sekali menghilang dari situasi ini.

Kulirik Pembina yang berada di sampingku yang tak lain adalah wali kelasku, Bu Hazia. Matanya terlihat teduh tapi sarat makna, tanpa beliau menggerakkan apa pun aku paham. Beliau mengisyaratkan untuk melanjutkan. Dengan sigap ku betulkan posisi bendera sebagaimana mestinya. Tersisa suara parau dari pita suaraku yang akhirnya ku lontarkan untuk memberi aba aba kepada pemimpin upacara, bahwa bendera telah siap. Mengucapnya pun aku malu setengah mati. Kemudian pemimpin memberi perintah kepada seluruh peserta untuk hormat pada sang saka diiringi lagu Indonesia Raya menuju puncaknya. Mungkin sang merah putih telah kecewa denganku, mungkin ia telah muak melihatku.  

            Insiden dua tahun lalu itu masih menyisakan trauma yang amat mendalam untukku, kini aku telah duduk kelas 2 SMA. Kejadian itulah yang membuat aku menolak dengan mantap, saat ditunjuk menjadi petugas pengibar bendera, karena kelasku akan menjadi petugas upacara minggu depan.
               

Bekasi, 12-11-16

#zifah
Previous
Next Post »

1 komentar:

Click here for komentar
Nodiwa
admin
14 November 2016 pukul 13.18 ×

Ceritanya bagus, deskripsinya oke.

Jempol deh :)

Congrats bro Nodiwa you got PERTAMAX...! hehehehe...
Reply
avatar

Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa follow dan berteman dengan saya di facebook : Nazifah R, Twitter : @zifah03, dan instagram : @zifahra ^^ ConversionConversion EmoticonEmoticon