Sombong

Image result for sombong
Selamat Morning Indonesia
                 
                 Di dunia ini memang tidak ada manusia yang sempurna. Karena kesempurnaan sejati hanya milik Allah. Seperti cewek yang ada di kampus gue, dia terkenal pintar, agamis, memiliki wajah yang diidam idamkan kebanyakan wanita, cantik dan mulus. Namanya Arini anak Fakultas Ekonomi, Jurusan Akuntansi. Kalian bakal berpikir Arini itu tipe wanita yang sempurna, tapi menurut gue ada satu sikap dia yang justru merusak semua citra baiknya.

                Punya prestasi gemilang, bahkan dia menjadi wakil kampus untuk mengikuti PIMNAS tahun lalu. Cewek yang sedang menajalani kuliah semester lima itu paling susah senyum. Gue dan teman-teman pernah berpapasan sama dia, terus gue senyumin, dia tidak membalas senyum tapi jalan tanpa acuh sekelilingnya. Gila, sombong banget.

                Bukan karena dia lebih cantik lantas gue merasa iri, tapi pasti dia sangat tahu senyum kepada saudaranya merupakan ibadah. Saat itu sih gue berpikiran dia sedang terburu-buru karena sesuatu, dan gue juga enggak tahu karakter aslinya bagaimana, kita berbeda fakultas.

                Setelah kejadian itu, gue bertemu dengan dia lagi. Dan ada rektor juga yang lewat, aku memberi salam kepada sang rektor, namun ketika Arini lewat beberapa meter di depan kami, dia bersikap seperti saat bertemu dengan gue dan teman-teman waktu itu. Bahkan tidak ada sapaan untuk Bapak Rektor. Dalam hati gue cuma bisa berkata, nih cewek cantik, cerdas, incaran cowok-cowok yang merindukan bidadari surga, tapi kok sombong banget?

***

                Jalanan tidak seramai biasanya, jadi gue harus menghentikan laju kendaraan beberapa kali karena macet. Belum lagi lampu merah yang harus dilalui sebanyak tiga kali yang menurut gue itu sudah cukup menyita waktu gue yang sangat berharga. Setelah memarkir motor gue jalan dengan terburu-buru bahkan sedikit berlari. Hari ini ada presentasi mata kuliah kimia, dosennya disiplin pake banget. Kalau ada yang datang terlambat di jam dia mengajar, jangan harap ada pengampunan sekecil apapun. Serta harus siap mental dan fisik untuk mendapat hukuman dari dosen yang namanya Pak Bambang. Hukuman yang beliau berikan selalu diluar pemikiran mahasiswa bahkan manusia. Pernah teman sekelas gue telat, dia cowok, lalu dosen itu menyuruh keluar dengan syarat harus memotret 8 jenis burung berbeda dengan kombinasi tiga warna agar bisa kembali ke kelas. Tapi yang terjadi dengan mahasiswa tersebut ia malah kabur tak kembali. Mungkin ia frustasi.

                Gue enggak mau bernasib sama dengan cowok itu. Dengan kecepatan maksimal gue memutuskan untuk berlari. Beberapa orang tersenggol tapi gue enggak sempat minta maaf. Sengaja mengambil jalur dari Fakultas Ekonomi, karena lebih dekat dengan ruangan gue untuk presentasi. BRUKKK. Gue merasa diri gue terhempas dan enggak ada alasan buat menghnidar.

                “Aduhh maaf ya maaf,” kata cewek yang tabrakan dengan gue sambil mengambil beberapa buku yang berserakan akibat insiden ini.
               
                “Iya enggak apa-apa, gue minta…” Suara gue tiba-tiba tertahan saat sadar siapa cewek yang gue tabrak. Gue kaget ternyata dia Arini. Yang selama ini gue kira sombong, bisa juga mengaku bersalah.

                “Eh maksud gue, gue minta maaf,” kata gue dan beniat membantu dia mengambil beberapa buku yang terhempas rada jauh dari jarak kami. Tapi waktu gue melirik jam tangan niatan gue sirna semua.
               
                Gue melanjutkan lari maraton bahkan belum sempat mengucap salam perpisahan dengan Arini. Gue jadi enggak enak, karena gue dikejar waktu dan menabrak Arini, bukunya pun beserakan. Saat ini Arini tidak terlalu dipusingkan, selesai kuliah nanti gue bisa menemuinya untuk meminta maaf sekali lagi secara resmi. Sekarang gue harus sampai tepat waktu di kelas.

***

                Bersyukur karena Pak Bambang ternyata ada tugas dadakan sehingga presentasi dibatalkan. Sebenarnya tadi gue termasuk telat, tapi dewi keberuntungan sedang berada dipihak gue. Selesai kuliah gue langsung menuju ke Fakultas Ekonomi, gue masih merasa bersalah akibat kecerobohan tadi pagi.

                Saat melewati lorong gue melihat ke arah taman yang tak jauh dari lorong, di sana ada beberapa mahasiswa yang menggunakan bangku taman untuk membaca, mengobrol atau mendengarkan music dengan headset. Cewek berjilbab lebar biru muda dan gamis merah marun terlihat serius membaca buku yang digenggamnya.

                “Assalamu’alaikum Arini,” kataku yang mengahmpiri Arini.

                Dengan raut wajah sedikit kaget ia membalas, “Wa’alaikumsalam.”

                “Mmm.. Gue Dinda. Gue mau minta maaf soal kejadian tadi pagi. Itu gue lagi buru-buru banget.” Gue mengulurkan tangan sebagai tanda damai.

                Arini membalas uluran tangan gue tapi wajahnya tampak kebingungan. “Oh, memang yang tadi itu kamu?” tanyanya.

                “Iya.”

                “Aku enggak terlalu merhatiin tadi. Santai saja,” kata cewek berkacamata itu sambil tersenyum.

                “Assalamu’alaikum Arini…” Segerombolan cewek berkerudung lewat dengan menyapa Arini.

                “Wa’alaikumsalam,” jawab Arini dengan senyum yang sedaritadi sudah terbentuk.

                “Rin, gue balik duluan ya. Assalamu’alaikum.”

                “Wa’alaikumsalam Din. Hati-hati ya.”

***

                Setelah dua hari tidak bertemu teman-teman, akhirnya kami janjian di kantin. Di sana gue menceritakan bahwa gue bertemu bahkan bicara dengan Arini. Gue yakin pasti mereka tidak percaya. “Guys tahu enggak?” Gue membuka percakapan.

                “Apa tuh?” kata Lina dengan mendekatkan wajahnya ke gue.

                “Dua hari yang lalu gue enggak sengaja nabrak Arini karena buru-buru. Terus buku-buku yang dia bawa jadi jatuh berserakan…” Belum sempat gue lanjutin Reni sudah memotong.

                “Terus reaksi dia gimana? Marah enggak?”

                “Gue malah kaget.dia duluan yang minta maaf!”

                “Serius Lo?” tanya Rosa.

                “Iya. Saking buru-burunya gue enggak bantuin dia, waktu itu gue ada jamnya Pak Bambang. Gue enggak mau ambil risiko karena waktu itu udah telat banget.”

                “Wahh bisa ngomong juga tuh orang,” timpal Reni.

                “Tapi dia orangnya ramah banget loh. Waktu itu ada yang nyapa dia terus disapa balik pake senyum lagi.”

                “Mungkin itu teman-teman yang satu fakultas dengan dia. Kalau sama kita karena belum kenal mungkin, jadinya cuek.” Lina mencoba menganalisa.

                “Iya kali ya,” gue mengiyakan perkataan Lina.

                “Balas sapaan bisa, balas senyum yang enggak perlu ribet masak enggak bisa? Setidaknya kan bisa menambah pahala,” seru Rosa.

                Setelah Rosa berbicara tidak ada yang menimpali lagi. Kami diam tanda sependapat dengan Rosa. Banyak pikiran bercabang dalam kepala kami untuk berspekulasi tentang Arini.

***

                Hari Jum’at ini Fakultas Ekonomi mengadakan sebuah seminar yang dibuat khusus untuk para mahasiswa yang menjadi keluarga Fakultas Ekonomi di kampus. Di antara fakultas lain, Fakultas Ekonomi memang paling sering mengadakan seminar baik terbuka untuk khusus maupun umum. Menurut gue, karena yang di pahami dan pelajari dalam Fakultas Ekonomi memang hal yang mengglobal dan mengalami banyak kemajuan serta perubahan-perubahan kebijakan yang gue sendiri pusing kalau liat abang gue mengerjakan tugas kantor yang dibawa pulang ke rumah. Isinya angka semua.

                Karena jam kuliah kedua nanti jam satu, gue memutuskan untuk balik ke tempat kos. Seperti biasa gue melewati lorong di Fakultas Ekonomi, karena dekat dengan tempat parkir motor. Saat melewati ruang auditorium yang tampak sepi karena memang seminar akan berlangsung jam sepuluh sedangkan sekarang masih jam setengah sembilan.

                Gue melihat Arini sedang berjalan di depan menuju ke arah gue. Karena gue pernah bicara sama dia, gue rasa dia masih ingat. Hari ini dia tidak memakai kacamata, dan gue mencoba untuk memberikan senyuman pada dia. Dan anehnya dia hanya melihat gue tanpa membalas senyum gue. Ada beberapa orang yang berjalan di belakang. Lalu gue coba untuk menegurnya, “Assalamu’alaikum Arini..”

                Dia malah celingukan lalu menjawab “Wa’alaikumsalam..” Dan gue makin enggak mengerti karena matanya mengarah pada orang yang berada di belakang gue. Akhirnya gue dekati dan tepuk bahunya, “Apa kabar Arin?”

                “Alhamdulillah baik, kamu?” Dia menjawab dengan senyum khasnya.

“Alhamdulillah baik juga. Eh kemaren gue liat kamu pakai kacamata.”

“Hehehe iya, tadi ketinggalan di rumah, mau di ambil lagi tanggung,” jawabnya.


Ya ampun sekarang gue mengerti kenapa setiap gue memberikan senyum waktu dia enggak pakai kacamata dia tidak membalas. Bukan karena somong tapi dia tidak mengetahui keberadaan gue, mungkin terlihat samara tau bahkan buram.
Previous
Next Post »

1 komentar:

Click here for komentar
Nodiwa
admin
30 November 2016 pukul 09.15 ×

So ... kita ndak boleh buruk sangka ke orang lain kan, Mbak Zifa?

Nice stroy :)

Congrats bro Nodiwa you got PERTAMAX...! hehehehe...
Reply
avatar

Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa follow dan berteman dengan saya di facebook : Nazifah R, Twitter : @zifah03, dan instagram : @zifahra ^^ ConversionConversion EmoticonEmoticon