Beloved

Source : Fairgoods

Saat kau sedang mencintai sesuatu dan menjadi prioritas untuk dicintai, namun harus merelakannya pergi dalam waktu singkat. Bagaimana perasaanmu? Kemungkinan besar kau bersedih. Itu wajar menurutku, karena kau merasa kehilangan. Hal  serupa terjadi pada adikku yang saat ini kelas 2 SMA, Meily.

Sejak Brandon tiada, dia menjadi pemurung. Dan membatasi komunikasi denganku. Masih melekat dalam ingatanku di hari itu, dia seperti orang tidak waras. Menangis disertai jeritan. Wajahnya seperti dihantam banjir bandang. Aku sangat perihatin kepadanya, tapi justru dia marah besar kepadaku. Seusai dari pemakaman ia membentak, seakan tak ada lagi kehormatan untukku.

“Ini semua karenamu Bima! Salahmu! Mengapa kau hancurkan kebahagiaanku?!” katanya dengan isak tangis.

“Mei, aku sama sekali tidak berniat jahat. Kau harus dengar dulu penjelasanku,” aku membela diri.

“Aku tidak pernah mengganggu kau dengan Ranu! Tapi kenapa kau… hu..hu..hu..” tangisannya semakin menjadi.

Sejak itu aku merasa bukanlah abang yang baik. Seorang abang yang seharusnya menjadi tameng kedua setelah ayah, untuk adik perempuan. Tapi yang terjadi padaku justru sebaliknya. Baginya, aku telah bertransformasi menjadi seorang musuh dalam selimut.

Waktu pertama kali Brandon diperkenalkan ke rumah, bunda dan ayah sangat menyukainya. Hanya aku yang tidak. Bahkan mereka menyambutnya dengan hangat dan memperlakukan seperti anak sendiri. Aku memilih untuk menemui Ranu. Hingga kembali pun mereka masih asyik dengan Brandon. Tak ada niatan untuk bergabung, kali ini aku memilih menonton tv di kamar.

Keesokan harinya aku mendapati Mei pulang sekolah, namun tak sendiri. Dia bersama… “Ah si tengil itu. Untuk apa kemari lagi?”

“Assalamu’alaikum. Bun ada tamu nih, tebak siapa yang dateng?” kata Mei.

“Wa’alaikumsalam. Saha Mei?” “Eh, Brandon. Mau ketemu ayah ya? Bentar lagi ayah pulang,” sahut bunda. Di antara ayah dan bunda, ayah terlihat paling menyukai Brandon.

Hanya kutatap sinis si tengil itu, kupalingkan muka, lalu beranjak menjauh. Tidak menyukai bukan berarti benci. Ada alasan tertentu untuk menyukai sesuatu atau tidak. Aku sangat menyukai pekerjaanku, mungkin bisa jadi cinta. Karena sudah menjadi hobi saat duduk di kelas 2 SMP. Kini berperan sebagai chef hotel berbintang dan ternama, di Bandung, sudah menjadi rutinitas.

Minggu pagi ini aku sangat ingin bersantai. Perutku terpanggil, saat hidungku menangkap sebuah aroma lalu mengirim pesan melalui sinyal lewat jalur kerongkongan menuju saluran pencernaan hingga alarm berbunyi tanda pesan telah diterima, kruyukk. Aku tahu kemana harus melangkah.

Pasti bunda sedang masak. Dari aromanya sih ini pisang goreng. Masakan bunda selalu yang terbaik, biarpun aku seorang chef di hotel ternama. Tapi chef terbaik di rumah, ya bunda.

Aku berdiri di samping bunda. “Wangi banget bun,” kuhirup aroma itu dalam – dalam sambil kunikmati sebelum lepas landas.

“Masa sih? Bunda belum mandi lohh,” katanya.

“Pisang gorengnya bun yang wangi. Kalo bunda, tetap wangi kok. Wangi orang belum mandi hehehe,” kataku disambi dengan mencicipi pisang goreng yang sudah matang. Dan bunda hanya tertawa kecil.

“Bun, gunting dimana ya?” Meily setengah  berteriak menghampiri aku dan bunda di dapur.

“Coba cari di meja dekat tv. Tadi sih bunda liat di situ,” jawab bunda.

Mei menuruti perintah bunda. Tak lama ia balik lagi ke dapur. Berjalan menuju kitchen set, mengambil tempat makan Tupperware, mendekati bunda, bukan, lebih tepatnya menghampiri pisang goreng yang sudah matang. Diambilnya lima buah pisang goreng, dimasukkan ke dalam tempat makan.

“Anak bunda sudah cantik dan rapih, mau kemana?” Tanya bunda.

"Aku mau ke rumah Fani bun, ada tugas kelompok," ujar Mei.

"Mesti banget hari weekend?" Tanya bunda sambil menoleh ke arah Mei, sedang tangannya masih lihai menggoreng. Aku meniru gerakkan bunda menoleh ke arah Mei.

"Dead linenya besok bun. Bentar aja kok, tinggal finishing." Jawab Mei sambil memasukkan dompet ke dalam tas.

Walaupun tahu Mei nampaknya masih kesal denganku, tak ada salahnya mencoba membujuk, jadi ku beranikan menawarkan diri untuk mengantarnya, bukankah seharusnya begitu seorang abang sejati? “Motor Mei kan masih di bengkel, abang antar ya? Sekalian mau keluar juga.” Berkata seperti itu pada Mei, rasanya seperti menyatakan perasaan kepada lawan jenis yang diincar, nano – nano.

Mei tidak menatapku, tapi aku tahu dia pasti mendengar, karena jarak kami terbilang dekat. Entahlah Mei bersikap pura – pura tidak mendengar atau berniat untuk menjawab, tapi telah didahului oleh dering ponselnya dan mengalihkan segalanya. Dia mengangkat teleponnya, “Halo? Oh iya iya, bentar lagi keluar.” Dia menutup sambungannya.

“Bun, aku berangkat sekarang.” Katanya, menghampiri bunda untuk cium tangan.

“Sama siapa?” Sambil mematikan kompor, bunda bertanya.

“Abang.” jawabnya beranjak menjauh tanpa mengindahkanku.

Mendengarnya aku terhenyak, seakan menerima jawaban ‘yes’ saat kau melamar seorang wanita. Dua bulan, rasanya lama sekali Mei, kau harus berpura – pura menganggap aku tidak nyata, kau rela mengetik untuk pembicaraan sederhana, hanya karena tidak ingin berbicara denganku. Tapi hari ini, kau memutuskan untuk menerima abangmu, yang pengecut ini, lagi. Abang sangat bersyukur kepada Allah Mei, telah mencairkan bongkahan es yang tertanam pada hatimu. Dan abang berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.

Dengan penuh rasa haru aku mengatakan, “Oke abang siap – siap dulu, bentar kok.”

“Abang Gojeknya sudah menunggu di depan. Assalamu’alaikum.” kata Mei. Singkat, padat, dan sangat jelas terdengar.

“Wa’alaikumsalam,” jawab bunda dan aku bersamaan. Namun aku merasakan bumi seakan berguncang.

Pancaran kilat datang bersama awan cumulonimbus. Kupikir sinar itu berasal dari mentari, yang sudah bosan dalam persembunyiannya. Ternyata salah. Jiwaku tersambar, getarannya tak membuat goyah. Sebab tak terhitung sudah, berapa petir yang menyapa, kali ini terasa kebal. Hanya suara dahsyatnya menggelegar. Angin berhembus semakin kencang dan sangat kencang, seperti ingin memperkenalkan kawannya bernama badai. Tidak apa, jika ia ingin berkenalan. Ada harapan untukku bisa bertemu pelangi setelahnya.

Bunda yang melihat perubahan pada raut wajahku, mencoba menenangkan dengan mengelus pundakku. Beliau sangat tahu apa yang terjadi antara aku dengan Mei. Ayah dan bunda sudah sangat sering untuk menasehati Mei, tapi, sepertinya musim salju belum juga mereda di hatinya. Mei, sampai kapan kau mengutuk abangmu ini sebagai pajangan?

Semakin hari, Mei, semakin sering mengajak Brandon bertandang ke rumah. Aku melihat perubahan pada dirinya, senyumnya tambah lebar saja jika bersama Brandon. Seperti menemukan pasangan hidup baru.

Karena rasa sayang sudah tumbuh begitu lebatnya, Mei seperti menganggap Brandon adalah kekasihnya. Mereka tak segan – segan untuk berpelukan. Ewwhh itu menjijikan. Bahkan dengan rasa yang sama, aku tak pernah melakukan itu pada Ranu. Selama ini aku hanya mencium keningnya, untuk menunjukkan rasa cinta padanya.

Sampai suatu hari Mei telah mengambil keputusan dan satu keluarga setuju. Terkecuali aku. Bagaimana bisa, mereka menetapkan sebuah keputusan tanpa dirundingkan oleh seluruh anggota? Atau mereka sudah tidak menganggapku bagian dari keluarga ini? Hatiku kepanasan.

Aku mencoba untuk mengubah keputusan mereka. Selama aku masih di sini, bagian dari mereka, artinya memiliki hak untuk bersuara.

Sedari tadi di kursi makan, ditemani air dingin aku merancang kalimat sakti, untuk dilontarkan pada mereka, supaya mempertimbangkan lagi keputusan yang telah dibuat. Lalu Mei datang, mengambil gelasnya yang berdekatan dengan gelasku.

Ini adalah kesempatan untuk melancarkan rencanaku. “Mei, apa maksudmu?” dengan sedikit lantang kulemparkan pertanyaan padanya.

“Apa bang?” Nampaknya dia belum paham.

“Kenapa kau ingin Brandon tinggal di sini?! Kau tau kan kalau aku tidak suka dengan…” belum selesai aku mengucap dia sudah menyela.

“Hey abang. Itu adalah masalahmu. Jangan kau campurkan masalahmu, dengan keputusan keluarga. Aku sudah sangat sayang kepadanya, begitupun dengan ayah dan bunda. Lagi pula, aku sudah mendapat restu dari Tante Rika,” jawabnya.

“Tapi keputusan kalian tidak adil! Kalian sama sekali tidak meminta pendapatku. Kenapa?” tak sengaja aku membentak, sedikit hilang kendali. Karena rasa panas di hati sudah menggigit.

Dengan santainya Mei menjawab “Karena kami sudah tahu jawabannya. Percuma saja, jika itu dilakukan. Kau juga kalah suara.” Lalu pergi begitu saja. Sepertinya ia menghindar untuk berdebat denganku.

Di teras, angin menyapu wajahku dengan sejuk. Di sini suhu hatiku berangsur normal. Hanya Ranu pendengar setiaku. “Sudah tidak ada lagi yang peduli denganku, Ranu. Mereka tak menganggapku lagi.”

Cit..cit..cit..cuit..cuit..cit..cit..cuit…

“Ya aku tahu kau sedang menghiburku. Tapi maaf Ranu aku tidak mengerti bahasa burung.” Kataku berkeluh.

Cit..cuit..cit..cuit..cuit..cuit…cuit..cit..cuit..cuit..

“Hey, Ranu. Suaramu makin indah saja. Ya, ya kau adalah sang juara kontes suara burung tingkat kecamatan. Akan kulatih lagi, hingga kau bisa menjadi juara tingkat nasional. Oke?”

Mei, keluar bersama Brandon kesayangannya. Dia mengajak si tengil itu bermain di halaman depan. Pemandangan yang tidak kusukai, aku beranjak untuk masuk ke dalam rumah. Melihatku yang akan segera masuk, Mei berlari kecil mengahmpiriku. “Bang. Aku nitip Brandon bentar ya, bentar aja. Mau ganti pasir, untuk buang kotorannya. Ya ya ya..” Dengan nada memelas dia memohon.

“Kau kan tahu aku tidak suka dengannya. Tidak, aku tidak mau.” Jawabku tegas.

“Ayolah. Kau tidak harus menyentuhnya. Kau hanya memantau dan pastikan tidak keluar ke jalan. Ya bang?” Kali ini mukanya ikutan memelas.

Andai saja kau meminta yang lain, sebagai abang, pasti kuturuti Mei. Tidak harus berurusan dengan makhluk itu. Tapi karena kau adikku, tak tega melihatmu bersedih, bilamana tak kusanggupi inginmu. Dengan sangat terpaksa aku mengiyakan. “Terima kasih abang.” Katanya, mendadak ceria. Lalu pergi ke halaman samping. Kudelikkan mata sekilas ke arah Brandon ah terlalu keren namanya untuk si tengil, hanya memastikan dia masih di jalur aman.

Cuit..cuit..cuit…cit..cit..cit…cuit..cuit..cuit..

“Kau lapar, Ranu? Wah makananmu sudah habis, bentar ya. Akan kuambilkan yang spesial untuk sang calon juara nasional.” Dengan sergap aku masuk ke dalam.

Sesegera mungkin aku kembali dengan beberapa potong jagung. Sesekali  kularikan bola mata ke arah si tengil, dia hanya diam mematung ke arah jalan. Mungkin dia ingin kabur, baguslah kalau memang itu dibenaknya, tapi mungkin tidak bagus jika Mei mengetahui.

“Mana Brandon, bang?” Mei, mengahampiriku tiba – tiba.

“Ada, di sana.” Kataku sambil memasukkan jagung ke dalam kandang Ranu.

“Di sana mana?” tanya Mei.

“Itu loh Mei,” dengan memutar badan dan kuacungkan jari telunjuk ke arah si tengil. Tapi nada suaraku berubah pelan.

“Tadi ada di situ kok. Bener deh,” kali ini aku mulai cemas.

“Kalau terjadi sesuatu dengan Brandon, itu salah abang!” Kata Mei, sambil melotot padaku.

Bruumm….Cyyyiittttttt..

Sontak aku dan Mei berlari ke arah suara itu. Sebelumnya kututup kandang Ranu terlebih dahulu. Dengan cepat aku menggerakkan kaki, Mei sudah tiba duluan, dia tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

“BRANDOOONNN!!!” Teriaknya. Tangisnya memecah.

Karena mendengar Mei berteriak, orang – orang berdatangan, penasaran dengan apa yang terjadi. Mendadak sekeliling kami penuh orang, menganggap ini adalah sebuah tontonan. Lututku terasa lemas melihat si tengil Brandon, bersimbah darah.

Lalu Mei, segera menggendong jasad Brandon. Dibawanya masuk ke dalam. Tiba – tiba ada seorang bapak menghampiriku, ia berkali – kali mengucap maaf kepadaku. Dia mengaku tak sengaja menabrak Brandon, karena tidak terlihat olehnya seekor kucing melintas di depan ban mobil. Tak banyak yang bisa kuperbuat, kuterima permintaan maaf bapak itu. Lalu membubarkan warga yang menganggap ini tontonan gratis.

Kucari Mei keliling rumah dia tidak ada! Dimana dia? Dengan perasaan was – was ku cari lagi ke setiap sudut yang belum kuraba. Aku menemukannya, di halaman samping. Dan Brandon sudah di kuburnya. Mengetahui aku datang, ia mendekatiku.

“Ini semua karenamu Bima! Salahmu! Mengapa kau hancurkan kebahagiaanku?!” katanya dengan isak tangis.

“Mei, aku sama sekali tidak berniat jahat. Kau harus dengar dulu penjelasanku,” aku membela diri.

“Aku tidak pernah mengganggu kau dengan Ranu! Tapi kenapa kau… hu..hu..hu..” tangisannya semakin menjadi.

“Sekarang kau puas kan?! Hebat sekali kau, berkedok untuk menjaganya. Tapi kau biarkan dia keluar pagar, huu..hu..hu..” tuduhnya.

Seakan ada petir yang menyambarku. Adik yang paling kusayangi, telah menuduhku sebagai seorang pembunuh.

 “Ada apa?” Ia masih tidak ingin menatapku. Sepertinya Mei telah melihat pesan whatsapp dariku, karena memintanya untuk menemuiku di depan pintu.

“Mei, abang benar - benar minta maaf atas kejadian dua bulan lalu. Abang tahu, abang tak bisa mengembalikkan Brandon padamu..” jawabku.

Mei tidak merespon, dia berbalik membelakangiku. “Mei, abangmu memang pengecut. Dengan seekor kucing saja takut. Hanya alasan belaka aku tidak suka. Tidak pernah sebelumnya aku sangat merasa takut dengan kucing. Sampai hal buruk menimpamu. Kau menangis ketakutan, saat banyak kucing menghampirimu, tentu saja mereka mengincar ikan goreng yang kau genggam. Melihat itu aku tidak tinggal diam, dengan tekad ingin melindungimu. Kuambil ikan goreng di tanganmu, lalu berlari.

Ternyata kucing – kucing itu ikut berlari, mengejar. Aku tak paham bagaimana agar kucing – kucing itu tak mengejar lagi. Yang aku tahu, kau harus selamat. Mereka sangat ganas Mei, benar – benar kelaparan. Hingga baru terpikirkan untuk dilemparkan saja ikannya, saat hendak melempar aku tersungkur, dengan sekejap mereka mencakari wajahku, perih sekali.

Luka mewarnai wajahku. Kini luka itu sudah tidak ada, Mei. Tapi ingatan yang tersimpan tak akan pernah sanggup melupakannya. Jika kau tidak ingat, tidak masalah Mei. Karena kini, kenangan itu hanya menjadi masalah untukku. Biarlah kuhadapi sendiri masalah itu.”

Masih tak ada respon dari Mei.

“Maaf, abang belum bisa menjadi orang baik dimatamu. Mei tolonglah, berhenti bersikap seperti ini. Kalau nanti ayah sudah tiada, kau adalah tanggung jawabku seutuhnya. Aku yang akan menjagamu. Aku yang membiayai pendidikanmu. Dan, akulah yang akan menjadi walimu di hari pernikahan kelak.” Tanpa terasa buliran air mata menyusuri pipiku. 

Mei berbalik ke arahku dan memelukku. “Maafkan aku, abang..” terdengar samar isak tangisnya. Kupeluk Mei dengan erat.

“Mei, abang tahu kau belum bisa melupakan Brandon. Tapi abang juga tidak tahu, bagaimana untuk mengembalikan kebahagiaanmu. Abang hanya bisa menghadirkan Brandon yang lain. Apa kau bisa menerimanya?” kutunjukkan kandang yang berisi anak kucing jenis Persia.

“So cute,” katanya dengan mengembangkan senyum yang manis. Aku bersyukur senyuman itu hadir kembali di hadapanku.

#zifah

Bekasi, 16 – 10 – 16
Previous
Next Post »

1 komentar:

Click here for komentar
17 Oktober 2016 pukul 08.44 ×

Aseeek kereen bah! Kecelakaan yang tragis hihihii

Congrats bro Bakul Daster you got PERTAMAX...! hehehehe...
Reply
avatar

Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa follow dan berteman dengan saya di facebook : Nazifah R, Twitter : @zifah03, dan instagram : @zifahra ^^ ConversionConversion EmoticonEmoticon